Shinee - Taemin

Perempuan Dalam Beban dan Kemerdekaan



Abstrak: Penulisan artikel ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai peran perempuan bila ditinjau dari dua penulis naskah drama yang mempunyai cara pandang berbeda terhadap peran perempuan dalam kehidupan sekari-hari. Penulisan ini juga membandingkan cara penulis menilai sosok perempuan dalam imajiner mereka, permasalahan perempuan bila di lihat dalam suatu karya sastra tidak akan ada batasnya, bahkan karena begitu pentingnya peran perempuan maka dilahirkannya teori feminis dimana teori ini menguatkan posisi perempuan dalam tataran sosial dan mensejajarkan dengan posisi pria. Disini juga akan ada pembahasan mengenai suatu karya sastra yakni naskah drama ditinjau dari segi penulisnya (ekspresif). Perempuan dalam beban dan kemerdekaan akan mengulas lebih spesifik mengenai perempuan dalam kungkungan dan perempuan dalam kebebasan, namun tetap dalam batasan keperempuanan yang memiliki kelembutan.
Kata kunci: perempuan, karya sastra, penulis.



PENDAHULUAN

        Karya sastra dalam berbagai bentuk selalu memberi makna tentang kehidupan. Hal ini dimungkinkan karena karya sastra merupakan gambaran kehidupan manusia. Karya sastra merupakan bagian dari seni yang mengandung unsur kehidupan yang menimbulkan rasa senang, nikmat, terharu, menarik perhatian, dan menyegarkan perasaan penikmat. Kedudukan dan manfaat karya sastra bagi seorang pencipta karya sastra tidak hanya ingin mengekspreskan pengalaman jiwanya saja, tetapi lebih dari itu. Penulis bermaksud mempengaruhi pembaca agar ikut memahami dan menghayati ide yang tertuang dalam karya sastra tersebut.

Keberadaan karya sastra di tengah-tengah masyarakat adalah hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya (world vision) kepada subjek kolektifnya. Signifikasi yang dielaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya menunjukkan bahwa sastra berakar pada kultur dan masyarakat tertentu. Keberadaan sastra yang demikian mengukuhkan sastra sebagai dokumentasi sosiobudaya (Iswanto, 2001: 61).
Pernyataan di atas berimplikasi bahwa sastra sesungguhnya adalah lembaga sosial yang menyuarakan pandangan dunia pengarangnya. Pandangan ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu gagasan aspirasi, dan perasaan yang dapat mempersatukan kelompok sosial masyarakat.

    Drama (Yunani Kuno δρᾶμα) adalah satu bentuk karya sastra yang memiliki bagian untuk diperankan oleh aktor. Kosakata ini berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “aksi”, “perbuatan”. Drama bisa diwujudkan dengan berbagai media: di atas panggung, film, dan atau televisi. Drama juga terkadang dikombinasikan dengan musik dan tarian, sebagaimana sebuah opera. Drama berarti perbuatan, tindakan. Berasal dari bahasa Yunani “draomai” yang berarti berbuat, berlaku, bertindak dan sebagainya. Drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak. Konflik dari sifat manusia merupakan sumber pokok drama. Sebuah naskah drama, sudah dengan sendirinya mempunyai kedudukan sastrawi yang dapat dipandang sebagai karya yang memilki kedudukan tersendiri. Sebab, sebuah lakon drama pengaruh nilai estetisnya kepada pembaca dapat saja bersifat mendalam, berkesan, atau bahkan lebih menantang.
    Dari penjelasan drama tersebut di atas, maka tujuan dari sebuah naskah drama adalah agar para penikmat suatu pementasan drama bisa membandingkan hasil bacaan maupun pementasan yang ditontonnya. Disamping itu, para penikmat juga tidak harus menerima semua suguhan persembahan drama tanpa ada bekal apa-apa yakni suatu naskah drama yang dapat di baca terlebih dahulu. Sebagai sastra lisan drama adalah teater, sedang drama sebagai karya tulis adalah peranan naskah terhadap komunikasi drama itu sendiri. Dalam hal ini lebih ditekankan aspek pembaca drama daripada penonton, dan merubah pendekatan yang berorientasi kepada aktor ke pendekatan yang berorientasi terhadap naskah.

PEMBAHASAN
    Perempuan dalam beban dan kemerdekaan adalah tema yang digambarkan pada keempat naskah drama yang ada dalam tulisan ini, mencoba untuk lebih dekat dengan dunia perempuan yang timbal balik, dunia perempuan dalam beban yang dipikulnya karena tanggung jawab terhadap anak dan lingkungan serta kemerdekaan yang didapat apabila keluar dari kungkungan namun tidak mengabaikan tanggung jawab kiranya gambaran itulah yang ada pada tulisan Royal Ikmal, Utuy Tatang Sontani, Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero, serta Yukio Mishima.
    “membuat perut menjadi buncit adalah hal yang sangat menyenangkan”
    Kutipan tersebut diatas adalah dialog dalam drama Royal Ikmal, Waktu Perempuan ,yang diucapkan oleh Pemudah Satu, tokoh yang  menjadi tokoh utama dalam drama Waktu Perempuan .Pemuda Satu berperan sebagai seorang pemuda lajang yang tidak mandiri namun suka “bermain”dengan perempuan ,disamping itu, Pemuda Satu juga sangat tidak menghargai Perempuan Satu maupun Perempuan Dua (tokoh dalam naskah drama).Tidak ditemukan sikap atau sifat yang mecerminkan pemghargaan akan hak perempuan.
     Di dunia ini kita diciptakan tuhan dengan berpasang-pasangan semua makhluk hidup pasti memiliki pasangan dan hal itu tidak terkecuali dalam sebuh karya sastra, naskah drama. Royal Ikmal menyadari hal itu, dan dalam drama yang di ciptakannya, Royal menghadirkan lelaki dan perempuan dalam situasi seperti yang terjadi di masyarakat. Cara pandang dalam drama Royal ini seakan-akan perempuan yang menanggung beban dan membiarkan para lelaki bertindak sesukannya. Karya Royal Ikmal ini berlatar namun latar yang digunakan adalah latar masa sekarang tanpa ada pelataran fleshback. Penggambaran perempuan jelas tampak dalam naskah drama ini bahwa kebebasan hanya milik para lelaki bukan untuk para perempuan, bila meninjau alur yang dihadirkan  dalam drama ini, Royal lebih berpihak pada sosok pria-nya, entah apa yang melatar belakangi hal itu, penghadiran tokoh manusia terbalik semakin menguatkan gambaran yang terjadi di sekililing bahwa bila melakukan perbuatan yang kurang baik maka akan hadir seperti bisikan setan yang akan terus menghasut pikiran manusia. Tuntutan terhadap perempuan yang harus ekstra serba bisa namun menghadirkan ketidakberdayaannya juga sesuatu yang terjadi dalam drama Royal Ikmal ini. Dalam naska drama Royal ini jelas tampak karakter toko perempuan dan lelaki. Pemuda satu dan Pemuda dua dikisahkan sebagai pemuda yang mengharapkan keringat perempuan tetapi tidak mengargai yang namanya sosok perempuan, sedang tokoh perempuan dibagi menjadi tiga toko, yakni Perempuan satu, Perempuan dua,dan Perempun tua, karakter perempuan-perempuan tersebut terkungkung dengan karakter tokoh lelaki. Sebut saja toko Perempuan Tua yang berperan sebagai ibu dari Pemuda Satu ,peran yang dilakonimya sebagai seorang ibu memberi kehidupan pada anaknya Pemuda Satu ,namun Pemuda Satu tidak pernah puas malah meminta terus menerus hasil kerja Keras ibunya. lIhat kutipan dibawah ini :
Pemuda 1    : Bu,aku lapar…! Berikan aku ibu debu tanganmu.  Bu,aku haus!Berikan aku keringat badanmu  !  
   Perempuan tua    : Aku sudah hampir kering. Kenapa kamu tidak mengalir dengan wajar ,kamu bisa makan debu  tanganmu dan minum keringatmu sendiri.
Pemuda 1    : Keringat dan debu tanganku hanya bisa aku dapatkan kalau aku berbuat sesuatu (sibuk mencari sesuatu untuk dikerjakan) tapi aku tidak dapat berbuat apa-apa kalau aku tidak menemukan apa yang harus aku kerjakan. 
    Dari kutipan di atas terlihat bahwa pemuda satu tidak bisa berbuat apa-apa selain merengek meminta pada si perempuan tua. Di sisi lain, pemuda satu juga ditemankan dengan pemuda dua, Royal membuat keduanya sama-sama arogan, karena tidak peduli dengan suara yang dikeluarkan oleh perempuan. Dengan pencitraan seperti ini, lebih jauh menelisisk pada penulisnya yakni Royal Ikmal, perlu dipertanyakan bahwa apakah terlahirnya sebuah naskah drama yang ditulismnya yakni pemusatan karakter arogan yang dimiliki oleh tokoh pria dalam drama tersebut adalah karena ia sendiri seorang lelaki? Atau mungkin saja Royal sendiri menjumpai para perempuan rapuh? Mungkin perlu adanya peninjauan lebih lanjut dengan membandingkan karya- karya Royal yang lain. Kutipan berikut:
        Perempuan 1        : tidak kamu ada padaku.
        Pemuda 2        : kamu ada pada kami.
        Perempuan 2        : tidak, kalian ada pada kami.
        Perempuan 1        : kalian punya ibu yang menyusui kalian.
        Pemuda 2        : kalian punya bapak yang menafkahi kalian.
Pemuda 1    : (dengan suara lanang) kalian memang yang menjadikannya, akan tetapi kami yang mengadakannya semua.
        Perempuan 2        : kenapa kalian tidak mau mendengar kami.

    Drama yang di bumbui dengan nama-nama tokoh yang agak sempit, yakni Pemuda Satu, Pemuda Dua, Perempuan Satu, Perempuam Dua, diantara nama-nama sempit tersebut, Royal rupanya satu nama sehari-hari namun tetap terlihat khusus, yakni Perempuan Tua. Ia pula menghadirkan masalah diantara para Pemuda Satu dan Dua dengan Perempuan Satu dan Dua sehubungan dengan hak mereka.
    Rupanya kejadian yang terjadi dalam drama Royal Ikmal, berbeda dengan drama Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani. Dalam sandiwara ini, Utuy lebih berpihak pada perempuan walaupun di awal cerita nasib perempuan masih ada dibawah kuasa lelaki. Tapi Utuy tidak ingin berlama-lama menghadirkan sikap keterpurukan perempuan, bermula di tengah sampai akhir cerita perempuan mulai mengambil kemudi untuk menentukan nasibnya sendiri. Di sandiwara ini, tampak pula pemujaan terhadap sosok perempuan karena telihat pada judulnya yakni Bunga Rumah Makan, dimana tokoh Ani, menjadi primadona di sebuah rumah makan dan menjadi harga jual tersendiri karena parasnya yang manis. Istilah harga jual disini bukan masalah perdagangan perempuan tapi tokoh Sudarma (pemilik rumah makan) menyiasati paras ayu Ani agar banyak para pelancong yang singgah di rumah makan tersebut. Disini, Utuy hanya menghadirkan satu tokoh utama perempuan, mungkin saja penulis sangat mengagumi sosok perempuan hingga menghadirkan karya yang begitu memberi inspirasi terhadap wanita agar tidak terpuruk dengan semua hal yang ada didunia ini. Perhatikan kutipan berikut.
                  Karnaen    : (memalingkan muka Ani dan memijit-mijit tangan). Dapatkah engaku selamanya mengulurkan tangan kepadaku, mengindahkan suara hatiku, An?
    Ani        : saya tidak mengerti, mas.
    Karnaen    : (terkulai). Ya, engkau tak tahu menaruh kasihan kepadaku, (berjalan perlahan-lahan). Hanya jika aku memakai baju tentara, baru engkau mengindahkan cintaku.
   
    Kutipan di atas semakin memperjelas bahwa posisi Ani, sedang diperebutkan oleh para lelaki. Belum lagi pada para pengunjung yang suka pada Ani, tapi mereka semua harus menelan ludah saat mengetahui Ani sudah mempunyai pasangan yakni Suherman ( tokoh pemuda kapten tentara). Utuy tidak hanya semata-mata mempermulus langkah si perempuan dalam sandiwaranya, ia juga menghairkan barbagai masalah. Sifat perempuan yang mudah terkecoh juga dimasukkan oleh Utuy Tatang Sontano dalam sandiwaranya. Utuy sangat mengalir dalam penggambarannya terhadap sosok perempuan. Perempuan memang selama ini sering dipermainkan oleh para lelaki, ketidakberdayaan terhadap lelaki juga dirasakan dalam tokoh perempuan, Ani. Sedikit dibumbui dengan cerita cinta semakin membuat posisi perempuan semakin jelas. Perasaan perempuan mudah luntur oleh rayuan lelaki, kiranya penggambaran seperti itu ada pula dalam drama Utuy. Lihat kutipan berikut.
        Seherman       : (memegang dagu Ani, menegakkan mukanya). Sekarang kesal juga berhadapan dengan aku?
    Ani        : ti…dak.
    Suherman    : tersenyumlah supaya aku tidak kesal memandanginya.
    Ani        : (tersenyum).
    Suherman    : hm, siapa bilang engkau tidak indah? Segar rohaniku menghadapi engkau.

    Sifat perasa dan kepekaan yang ada di diri perempuan juga dihadirkan dalam drama ini, terlihat pada saat Ani hendak memarahi pengemis, namun saat pengemis meminta maaf dan memperlihatkan wajah memelasnya, hati Ani menjadi penuh dengan belas kasihan. Dan kemerdekaan menjadi kata yang pas pada cerita akhir sandiwara ini, Ani menjadi perempuan yang kuat dan tegar setelah sebelumnya rapuh karena ditinggal oleh kekasih hati yang sangat ia kagumi, keputusan untuk meninggalkan rumah makan menjadi semakin memperjelas kemandirian dan tekad yang keluar dalam diri perempuannya, tapi itu semua tidak terjadi bila tidak ada kesadaran diri dari perempuan dan dukungan yang lagi- lagi diberikan oleh lelaki yang juga berprinsip hidup bebas. Lebih spesifik, dalam naskah drama karya Utuy Tatang Sontani menggambarkan alur cerita tentang seorang perempuan dan perannya dalam kalangan masyarakat. Diceritakan mengenai perempuan (Ani) yang bekerja sebagai pelayan di sebuah rumah makan yang menjadi tempat persinggahan istrahat bagi orang-orang yang hendak mengusir keletihan dan mengenyangkan perut. Karena di rumah makan tersebut hanya ada perempuan seorang, maka sebuta bunga rumah makan ditujukan padanya, bukan karena alasan hanya satu-satunya perempuan, melainkan si perempuan ini juga memiliki paras yang lumayan cantik, terbukti penulis menggambarkan bahwa sebahagian tokoh lelaki yang ada di dalam naskah drama tersebut jatuh hati padanya, hingga rumah makan tempatnya bekerja menjadi banyak pelanggan. Utuy Tatang Sontani memasukkan sebelas tokoh dengan perwatakan masing-masing yang mendukung alur cerita yang diciptakan. Latar tempatpun jelas disebutkan, yakni di rumah makan “Sambara”. Kembali pada alur cerita, penulis menghadirkan  konflik antara tokoh. Pencintraan perempuan di ubah pada akhir cerita, yang tadinya ia adalah seorang perempuan yang patuh pada perintah atasan karena sudah tidak memiliki kerabat lain, Utuy Tatang Sontani mengubah menjadi seorang perempuan yang ingin mandiri dan hidup bebas yang dikarenakan oleh perasaan yang hancur karena semua angan akan masa depan tidak dapat digapainya dengan seorang pria (Suherman) yang menjadi tambatan hati.
    Sedangkan dalam sandiwara Malam Terakhir karya Yukio Mishima, lebih memperkuat pencitraan perempuan. Ia membuat seakan-akan lelaki tidak dapat hidup tanpa pendampingnya seorang perempuan. Di dalam sandiwara ini, Yukio seakan-akan menjadi pengagum sejati perempuan dengan menghadirkan tokoh lelaki yang amat memuja kecantikan perempuan meskipun si lelaki tahu apa akibat dari kekagumannya tersebut. Perempuan dalam sandiwara ini lebih memegang kendali dibandingkan dengan para lelaki, mengapa dikatakan demikian? Karena jelas terlihat di akhir cerita Yukio membuat tokoh lelaki (penyair) rela menanggung resiko demi kekagumannya terhadap tokoh perempuan tua.  Sandiwara ini juga menghadirkan perempuan tanpa beban yang berat, sebaliknya kemerdekaan menjadi genggamannya.  Kemerdekaan yang kiranya tergambar jelas karena tokoh perempuan dengan segala kebebasan yang diserahkan padanya. Kutipan berikut.
Perempuan tua         : jangan katakana! Bukankah kutelah memperingatkanmu? Tidak tahukah kau apa yang akan terjadi kalau kau mengatakan aku cantik?
Penyair                       : kalau aku berpendapat bahwa sesuatu cantik, maka aku harus mengatakannya, sekalipun aku harus mati karenanya.
    Perempuan tua            : jangan-jangan kau lakukan hal itu!
    Penyair                 : aku harus mengatakannya padamu Komachi! Engkau cantik! Engkau perempuan   paling cantik didunia. Dan kecantikanmu tidak akan memudar, sekalipun sudah seribu tahu.
    Dialog yang dilakukan oleh dua tokoh utama yakni Perempuan Tua dan Penyair tersebut semakin memperjelas pemujaan seorang lelaki terhadap perempuan tua yang dikaguminya meskipun raganya telah tua renta namun pikirannya tersebuty telah tertutup oleh rasa sukanya terhadap si perempuan tua. Rasanya menghentikan rasa kagu seorang lelaki terhadap permpuan dengan mematikan tokoh penyair di akhir sandiwara. Namun, lagi-lagi sifat tegar diperlihatkan oleh perempuan tua karena tidak menangisis kepergian penyair tersebut.
    Naskah drama Pagi Bening, terjemahan Drs. Sapardi Djoko Damono dari drama komedi satu babak karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero juga mempunyai alur cerita yang lucu dan menggelitik. Mengisahkan tentang seorang kakek (Don Gonzalo) dan nenek (Donna Laura) yang bertemu dengan situasi yang kurang baik sehingga menimbulkan kesan pertemuan pertama yang buruk. Keangkuhan hati kedua kakek nenek tersebut semakin menggambarkan watak kakek nenek sebagaimana biasanya sifat seorang yang sudah lanjut usia. Namun di sisi lain penulis juga menghadirkan sifat pengertian dari kedua kakek nenek tersebut. Dari sifat pengertian itulah penulis memulai masuk ke dalam alur cerita cinta yang menggelitik. Sandiwara ini menceritakan kisah yang kilas balik antara masa muda dan masa tua kedua tokoh utama tersebut. Dimulai dengan cerita konyol yang mulai mengingatkan akan kejadian masa lalu antara dua tokoh sampai mereka pun mengetahui posisi masing-masing dalam cerita yang mereka bicarakan. Ingatan akan cerita cinta masa lalu hanya mereka kubur dalam hati karena keadaan mereka sekarang yang tidak memungkinkan untuk mengulang semua cerita muda mereka. Dalam naskah drama ini, penulis hanya menghadirkan empat tokoh. Penulis membuat dua tokoh utama dan dua tokoh figuran. Tokoh figuran (Petra dan Juanito) digambarkan sebagai pelayan dari dua tokoh utama. Latar dari naskah drama ini pun jelas terjadi di Madrid, Spanyol tepatnya di sebuah taman terbuka. Pada sandiwara ini, peran perempuan dan lelaki sama-sama mencolok jadi beban dan kebebasan yang diciptakan mengalir begitu saja tanpa ada ikatan apapun, Serafin dan Joaquin sama-sama menghadirkan sifat seimbang di antara perempuan dan laki-laki sehingga tidak ada penggambaran bias jender yang terjadi.

PENUTUP
    Dari penggambaran-penggambaran yang ada di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa sastrawan yang mengutamakan peranan perempuan dalam naskahnya, tapi ada pula yang kurang memperhatikan kebebasan dan kemerdekaan perempuan. Ada beberapa sastrawan, bila dilihat dari segi ekspresifnya cenderung ke hal-hal yang mereka alami atau dapat pula terjadi dilingkungan mereka dan yang lebih spesifik lagi, mungkin saja pemujaan dan ketimpangan terhadap perempuan didasari oleh kepribadian mereka sebagai penulis dan seorang lelaki. Yang menjadi perhatian sekarang adalah perempuan dalam beban dan kemerdekaan kiranya mampu memberikan gambaran umum tentang sifat perempuan, dan kembali lagi pada penikmat karya sastra apakah hanya akan berhenti menikmati karya sastra yang ada atau mau memberikan sumbangan kreasi yang lebih baik lagi.



BIOGRAFI PENULIS: Marta, lahir di Kendari 07 Desember 1990. Anak ketiga dari 6 bersaudara dan menamatkan SMA di DDI Kendari. Saat ini sedang menempuh pendidkan di Universitas Haluoleo.

   
   
   
   



   

0 Response to " "

Posting Komentar