Shinee - Taemin

PEMBAKUAN BAHASA

Kebijaksanaan bahasa dapat memilih dan menentukan sebuah bahasa dari sejumlah bahasa yang ada. Dalam suatu negara untuk dijadikan bahasa nasional atau bahasa resmi kenegaraan dari negara tersebut. Perencanaan bahasa dapat memilih dan menentukan sebuah ragam bahasa dari ragam-ragam yang ada pada bahasa yang sudah dipilih untuk menjadi ragam baku atau ragam standar bahasa tersebut. Proses pemilihan satu ragam bahasa untuk dijadikan ragam bahasa resmi kenegaraan maupun kedaerahan, serta usaha-usaha pembinaan dan pengembangannya yang biasa dilakukan terus-menerus tanpa henti, disebut pembakuan bahasa atau standarisasi bahasa. Lebih lanjut mengenai materi pembakuan bahasa akan dibahas pada bab pembahasan dalam makalah ini.

A.    Bahasa Baku

Berbicara tentang bahasa baku (lebih tepat disebut ragam bahasa baku) dan bahasa nonbaku, berarti kita membicarakan tentang variasi (Inggris: variety) bahasa, karena yang disebut bahasa baku itu adalah salah satu variasi bahasa (dari sekian banyak variasi) yang diangkat dan disepakati sebagai ragam bahasa yang akan dijadikan tolak ukur sebagai bahasa “ yang baik dan benar” dalam komunikasi yang bersifat resmi, baik secara lisan maupun tulisan. Keputusan untuk memilih dan mengangkat salah satu ragam bahasa, baik ragam regional maupun sosial, merupakan keputusan yang bersifat politis, siosial, dan linguistis.

Dalam hal kestatusan seiring muncul pertanyaan, apakah bahasa baku itu sama dengan bahasa nasional, bahasa persatuan, bahasa negara, dan bahasa Tinggi (yang ada dalam masyarakat yang diglosik). Pertanyaan-pertanyaan yang memang wajar untuk ditanyakan ini sebenarnya menampakkan pencampuradukkan konsep dari pihak yang bertanya. Penyebutan nama atau pemberian nama terhadap suatu bahasa menjadi bahasa nasional, bahasa persatuan, bahasa negara, dan bahasa Tinggi adalah penamaan bahasa sebagai langue, sebagai kode secara utuh keseluruhan; padahal penamaan bahasa baku adalah penamaan terhadap salah satu ragam dari sejumlah ragam yang ada dalam suatu bahasa.

Ada beberapa pendapat para ahli mengenai definisi dari bahasa baku itu sendiri. Halim (1980) mengatakan bahwa bahasa baku adalah ragam bahasa yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian masyarakat emakainya sebagai ragam resmi dan sebagai kerangka rujukan  norma bahasa dan penggunaannya. Sedangkan ragam yang tidak baku adalah ragam yang tidak dilembagakan dan ditandai dengan ciri-ciri yang menyimpang dari norma bahasa baku. Sebagai kerangka rujukan, ragam baku ditandai oleh norma dan kaidah yang digunakan sebagai pengukur benar atau tidaknya penggunaan bahasa. Menurut Dittmar (1976: 8) mengatakan bahwa bahasa baku adalah ragam ujaran dari suatu masyarakat bahasa yang disahkan sebagai norma keharusan bagi pergaulan sosial atas kepentingan dari berbagai pihak yang dominan di dalam masyarakat itu. Tindakan pengesahan norma itu dilakukan melalui pertimbngan nilai yang bermotivasi sosiopolitik.

Hampir sejalan dengan Dittmar, maka Hartmann dan Stork (1972: 218) mengataka bahwa bahasa baku adalah ragam bahasa secara sosial lebih digandrungi, seringkali lebih berdasarkan pada ujaran orang-orang yang berpendidikan di dalam dan di sekitar pusat kebudayaan dan ataua politik suatu masyarakat tutur. Sedangkan Pei dan Geynor (1954: 203) menggataka bahwa bahasa baku adalah dialek suatu bahasa yang memiliki keistimewaan sastra dan budaya melebihi dialek-dialek lainnya, dan disepakati penutur dialek-dialek lain sebagai bentuk bahasa yang paling sempurna.

B.    Fungsi Bahasa Baku

Selain fungsi penggunaannya untuk situasi-situasi resmi, ragam bahasa baku menurut Grafin Mathiot (1956: 785-787) juga mempunyai fungsi lain yang bersifat sosial politik, yaitu:
1.    Fungsi pemersatu
2.    Fungsi pemisah
3.    Fungsi harga diri
4.    Fungsi kerangka acuan
Keempat fungsi itu akan dapat dilakukan oleh sebuah ragam bahasa baku kalau ragam bahasa baku itu telah memiliki tiga ciri yang sangat penting, yaitu:
1.    Memiliki ciri kemantapan yang dinamis
2.    Memiliki ciri kecendekiawan
3.    Memiliki ciri kerasionalan
Ketiga ciri ini bukan merupakan sesuatu yang sudah tersedia di dalam kode bahasa itu, melainkan harus diusahakan keberadaannya melalui usaha yang terus menerus yang harus dilakukan dan yang tidak terlepas dari rangkaian kegiatan perencanaan bahasa.

C.    Pemilihan Ragam Baku

Moeliono (1975: 2) mengatakan bahwa pada umumnya yang layak dianggap baku ialah ujaran atau tulisan yang tidak dipakai oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar kewibawaannya. Termasuk di dalmmnya para pejabat negara, para guru, warga media massa, alim ulam, dan cendekiawan.

Sebenarnya banyak dasar atau kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan atau memilih sebuah ragam menjadi ragam bahasa baku. Dasar atau criteria itu, antara lain:
1.    Otoritas
2.    Bahasa penulis-penulis terkenal
3.    Demokrasi
4.    Logika
5.    Bahasa orang-orang yang dianggap terkemuka dalam masyarakat
Dewasa ini otoritas untuk pembakuan bahasa Indonesia ada pada Lembaga Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Maka dalam proses pembakuan bahasa Indonesia sudah seharusnya lembaga ini mencari dan mengumpulkan data (yang diambil dari orang-orang terkemuka) menganalisis, mengatur, dan menyusun kaidah-kaidah lalu menyesuaikannya kepada masyarakat luas. Usaha pembakuan bahasa, sebagai salah satu usaha pembinaan dan pengembangan bahasa, tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari berbagai sarana, antara lain:

1.    Pendidikan
2.    Industri baku
3.    Perpustakaan
4.    Administrasi Negara
5.    Media massa
6.    Tenaga
7.    Penelitian

D.    Bahasa Indonesia Baku

Andaikata kita telah memilih salah satu ragam bahasa Indonesia untuk dijadikan ragam bahasa baku, dan mengolahnya agara ragam tersebut memiliki cirri kemantapan yang dinamis, memiliki cirri kecendekiaan, dan memiliki ciri kerasionalan, maka tindakan pembakuan itu harus dikenakan kepada semua tataran tingkat bahasa, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik. Tentunya proses pengolahan itu harus dilakukan terus-menerus selama bahasa itu dilakukan.

Secara resmi fonem-fonem bahasa Indonesia telah ditentukan keberadaannya tetapi mengenai lafalnya atau ucapannya belum pernah dilakukan pembakuan. Namu, ada semacam konsensus yang rumusannya berbentuk negatif, bahwa yang disebut lafal bahasa Indonesia yang benar adalah lafal yang tidak lagi menampakkan ciri-ciri bahasa daerah. Pembakuan dalam bidang ejaan telah selesai dilakukan untuk bahasa Indonesia. Pembakuan ejaan ini telah melewati proses yang cukup panjang. Dimulai dengan ditetapkannya ejaan Van Ophusyen (Ejaan Balai Pustaka) pada tahun 1901, dilanjutkan dengan perbaikannya yang disebut ejaan Suwandi atau ejaan Republik pada tahun 1947 ; lalu diteruskan dengan penyemprnaanya dengan ditetapkannya ejaan bahasa Indonesia (EYD) pada tahun 1972 (dan revisinya pada tahun 1988) yang agak menarik adalah bahwa EYD juga berlaku untuk bahasa Malaysia dan bahasa Melayu di Brunai Darusalam.

Pembakuan dalam bidang tata bahasa juga sudaj diloakukan yakni dengan telah diterbitkannya buku tata bahasa yang diberi nama Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Meskiun masih  banyak kritik dilancarkan terhadap buku tersebut, yang barag kali karena persepsi dan teori ketatabahasaan yang diant, kehadiran buku tersebut sebagai upaya dalam pembakuan tata bahasa merupakan sesuatu yang sangat berharga.

0 Response to " "

Posting Komentar